Glow Storia – Lumba-lumba Hector, salah satu spesies terkecil di dunia yang hanya ditemukan di perairan Selandia Baru. Kini mendapatkan perlindungan lebih ketat dari pemerintah. Departemen Konservasi (Department of Conservation/DOC) memperkenalkan aturan baru yang membatasi jumlah perjalanan wisata Tur Lumba-Lumba Hector di Teluk Akaroa. Wilayah yang dikenal sebagai habitat utama spesies ini.
Kebijakan tersebut muncul setelah hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya aktivitas kapal wisata dalam Tur Lumba-Lumba Hector dapat mengganggu perilaku alami lumba-lumba, termasuk cara mereka mencari makan dan merawat anak. Akibatnya, hanya enam operator yang kini memiliki izin resmi untuk beroperasi di kawasan tersebut. Dengan jumlah perjalanan harian yang dibatasi secara ketat.
Menurut DOC, langkah ini diambil untuk memastikan keseimbangan antara pariwisata dan kelestarian alam. Andy Thompson, manajer operasional DOC, menjelaskan bahwa pembatasan baru memungkinkan maksimal 20 perjalanan per hari selama musim panas, serta tidak lebih dari 12 perjalanan per hari selama enam bulan lainnya. Ia menegaskan, meski ada batasan, operator masih memiliki ruang untuk beroperasi pada tingkat mendekati masa sebelum pandemi.
Baca Juga : Manfaat Cabe untuk Kesehatan, Pedas tapi Penuh Nutrisi
Kebijakan baru ini disambut dengan perasaan campur aduk oleh para pelaku industri wisata di Akaroa. Sebagian operator menganggap keputusan tersebut terlalu membatasi peluang ekonomi mereka, sementara yang lain memahami pentingnya perlindungan terhadap lumba-lumba Hector.
Hugh Waghorn, pemilik Akaroa Dolphins, menyatakan bahwa aturan baru ini akan berdampak langsung pada operasional bisnisnya. Ia menjelaskan bahwa perusahaannya kini harus mengurangi jumlah tur dari tiga kali menjadi dua kali per hari selama bulan November dan April. “Kami akan terpaksa mengurangi staf. Namun kami tetap mendukung perlindungan lumba-lumba karena itu adalah inti dari bisnis kami,” ujarnya.
Sementara itu, Paul Milligan, CEO Black Cat Cruises, menyampaikan bahwa meski mendukung tujuan konservasi, pembatasan tersebut bisa menghambat potensi pertumbuhan ekonomi. Ia menilai bahwa industri wisata di Akaroa sudah cukup terkendali dan tidak menjadi ancaman utama bagi populasi lumba-lumba. “Melindungi lumba-lumba tentu penting, tapi kebijakan ini juga harus mempertimbangkan keberlanjutan bisnis lokal,” kata Milligan.
Selain operator wisata resmi, masalah lain muncul dari aktivitas perahu rekreasi pribadi yang kian ramai di Teluk Akaroa. Waghorn mengungkapkan bahwa banyak kapal pribadi beroperasi tanpa izin dan berpotensi mengganggu kehidupan laut. Ia bahkan menyebut sebagian di antaranya sebagai “operator ilegal” yang tidak mematuhi aturan keselamatan maupun etika konservasi.
Milligan menambahkan bahwa ratusan kapal pribadi sering kali keluar masuk teluk selama musim panas tanpa pengawasan yang memadai. Hal ini menyebabkan gangguan akustik dan fisik bagi lumba-lumba yang sensitif terhadap kebisingan dan perubahan arus air. “Masalah sebenarnya bukan hanya dari tur komersial, tapi dari kapal pribadi yang melaju bolak-balik tanpa kendali,” jelasnya.
DOC menyadari tantangan tersebut dan sedang mempertimbangkan penerapan zona pembatasan kecepatan di sekitar Cagar Alam Laut Akaroa. Tujuannya adalah untuk mengurangi risiko gangguan terhadap lumba-lumba dan menjaga keselamatan pengunjung. Meski begitu, pelaksanaannya memerlukan koordinasi lintas lembaga dan dukungan dari komunitas lokal.
DOC menekankan bahwa semua pengguna Teluk Akaroa, baik operator wisata maupun pemilik kapal pribadi, wajib mematuhi aturan interaksi dengan mamalia laut. Beberapa pedoman utama yang diberlakukan antara lain:
Kebijakan ini diharapkan mampu memberikan waktu istirahat dan ruang gerak yang cukup bagi lumba-lumba untuk tetap menjalani perilaku alaminya tanpa tekanan dari aktivitas manusia. Thompson menegaskan bahwa langkah konservasi ini bukan hanya demi kelestarian satwa, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan ekonomi jangka panjang bagi industri wisata lokal.
“Populasi lumba-lumba yang sehat akan menjamin masa depan industri tur laut di Akaroa. Pariwisata dan konservasi harus berjalan beriringan agar ekosistem tetap lestari,” ujarnya.
DOC juga menyampaikan apresiasi kepada komunitas Ōnuku rūnanga dan para operator wisata yang telah memberikan masukan selama proses evaluasi izin operasi. Dengan kerja sama antara pemerintah, operator, dan masyarakat, diharapkan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan satwa dapat terus terjaga di Teluk Akaroa.
Simak Juga : Gejala Kurang Tidur Malam dan Dampaknya bagi Kesehatan