Glow Storia – Suntik Botox semakin populer di masyarakat modern, terutama di kalangan mereka yang ingin menjaga penampilan awet muda. Metode ini bekerja dengan menyuntikkan toksin botulinum yang dapat merilekskan otot sehingga kerutan di wajah berkurang. Meski manfaat kosmetiknya jelas, umat Muslim sering bertanya-tanya mengenai hukumnya dalam pandangan syariat.
Dalam Islam, setiap tindakan yang berhubungan dengan tubuh harus mempertimbangkan aspek halal, keamanan, dan tujuan penggunaannya. Suntik Botox pun tak lepas dari kajian para ulama dan lembaga fatwa, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mengatur syarat dan ketentuan bolehnya prosedur ini dilakukan.
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa No. 21 Tahun 2020 mengenai penggunaan Botox untuk tujuan kecantikan dan perawatan. Dalam fatwa tersebut, suntik Botox diperbolehkan selama memenuhi syarat tertentu, seperti menggunakan bahan yang halal dan suci, dilakukan oleh tenaga medis profesional, serta tidak membahayakan tubuh.
Meski demikian, ada catatan penting terkait sumber dan proses pembuatan Botox. Bahan ini berasal dari bakteri Clostridium botulinum yang dapat menggunakan media pertumbuhan dari hewan atau bahan najis. Jika sumbernya haram, seperti dari babi atau bagian tubuh manusia, maka penggunaannya harus dipastikan telah melalui proses pensucian sesuai syariat sebelum digunakan.
Baca Juga : Slimming Program dari Klinik Kecantikan jadi Solusi Turunkan Berat Badan Secara Instan
Ada tiga prinsip penting yang menjadi pedoman dalam hukum penggunaan suntik Botox bagi umat Islam:
Prinsip-prinsip ini mengacu pada kaidah fiqh bahwa segala sesuatu pada dasarnya boleh dilakukan kecuali ada dalil yang melarang, dan kemaslahatan harus lebih besar dari kemudaratan.
Hukum penggunaan Botox tidak sama di semua negara Muslim. Di Indonesia, MUI bersikap moderat dengan membolehkan penggunaannya dalam kondisi tertentu. Namun, di Malaysia, Dewan Mufti mengharamkan Botox untuk tujuan kosmetik murni, kecuali untuk menghilangkan aib atau kebutuhan medis darurat.
Perbedaan ini muncul karena interpretasi fiqh yang beragam. MUI melihat adanya analogi dengan praktik medis seperti pemasangan gigi palsu atau hidung palsu yang pernah diperbolehkan Rasulullah untuk memperbaiki cacat fisik. Sementara itu, ulama di Malaysia lebih menekankan larangan mengubah ciptaan Allah jika tujuannya hanya mempercantik diri tanpa kebutuhan mendesak.
Simak Juga : Anak Mandiri: 7 Kunci Mengajarkan Anak Dewasa Sejak Dini
Islam memandang perawatan diri sebagai hal yang dianjurkan selama tidak melanggar syariat. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menjaga kebersihan dan penampilan, namun melarang tindakan yang mengubah ciptaan Allah tanpa alasan yang dibenarkan. Misalnya, larangan mencabut uban hanya demi kecantikan, yang dianggap sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap ciptaan-Nya.
Dalam konteks Botox, batasan ini menjadi relevan. Penggunaan Suntik Botox untuk memperbaiki cacat atau mengatasi masalah kesehatan bisa dibolehkan, tetapi untuk tujuan kosmetik semata harus dipertimbangkan secara hati-hati. Prinsip kehati-hatian ini menjadi panduan agar umat Islam tetap seimbang antara keinginan tampil menarik dan kepatuhan terhadap ajaran agama.
Salah satu hal penting yang perlu dilakukan adalah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang prosedur kecantikan seperti Botox. Banyak orang yang tergiur oleh hasil instan tanpa memahami risiko medis dan hukum syariat yang mengaturnya.
Tenaga medis, ulama, dan lembaga fatwa memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman yang jelas. Edukasi ini mencakup informasi tentang bahan yang digunakan, prosedur yang aman, serta pertimbangan agama sebelum memutuskan untuk menjalani suntik Botox. Dengan demikian, masyarakat dapat membuat pilihan yang bijak, aman, dan sesuai dengan prinsip Islam.