Glow Storia – Masyarakat modern kerap mengambil jalan pintas dalam mengobati penyakit. Salah satu yang paling sering dilakukan adalah meng-konsumsi antibiotik tanpa resep dokter. Sekilas tampak sepele, namun kebiasaan ini menyimpan ancaman serius yakni resistensi antibiotik.
Antibiotik diciptakan sebagai solusi untuk membunuh bakteri penyebab penyakit. Namun jika digunakan secara tidak tepat, justru menjadi bumerang bagi tubuh dan lingkungan sekitar. Di Indonesia, fenomena ini semakin mengkhawatirkan dan berpotensi menimbulkan krisis kesehatan global dalam beberapa dekade ke depan.
Hasil survei nasional menunjukkan bahwa sekitar 8 dari 10 masyarakat Indonesia pernah membeli antibiotik tanpa resep dokter. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa antibiotik adalah obat umum yang bisa menyembuhkan segala penyakit, termasuk flu dan demam biasa.
Padahal, penyakit seperti flu dan pilek umumnya disebabkan oleh virus, bukan bakteri. Dalam kasus ini, antibiotik tidak akan efektif. Namun, karena kurangnya pemahaman, banyak yang tetap meminum antibiotik dengan harapan kondisi akan cepat membaik. Yang tidak disadari, bakteri di dalam tubuh justru bisa bermutasi dan membangun pertahanan terhadap antibiotik yang digunakan secara tidak tepat.
Baca Juga : Manfaat Kacang Hijau untuk Ibu Hamil: Superfood Berharga yang Lengkap Nutrisi
Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri menjadi kebal terhadap pengobatan yang seharusnya membunuh mereka. Akibatnya, infeksi yang awalnya ringan bisa berkembang menjadi penyakit serius yang sulit disembuhkan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut resistensi antimikroba sebagai “silent pandemic”. Data menunjukkan bahwa lebih dari 1 juta kematian global setiap tahun berkaitan dengan bakteri resisten antibiotik. Tanpa intervensi, angka ini diprediksi meningkat hingga 10 juta pada 2050.
Efek resistensi antibiotik tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga menyentuh sistem kesehatan secara keseluruhan. Biaya pengobatan menjadi lebih tinggi karena pasien membutuhkan perawatan intensif dan penggunaan antibiotik generasi baru yang lebih mahal. Di sisi lain, waktu penyembuhan juga jadi lebih lama, meningkatkan risiko penyebaran infeksi.
Lebih parah lagi, resistensi ini juga berdampak pada keberhasilan prosedur medis seperti operasi besar, kemoterapi, dan perawatan bayi prematur. Tanpa antibiotik yang efektif, tindakan medis tersebut akan jauh lebih berisiko.
Simak Juga : Anjuran Ahli Gizi Makan Sehat dan Tepat sebagai Gaya Hidup
Selain pembelian tanpa resep, penyebab resistensi juga termasuk menghentikan konsumsi antibiotik sebelum waktunya. Banyak pasien merasa lebih baik setelah beberapa hari dan memilih berhenti mengonsumsi obat, padahal bakteri belum sepenuhnya hilang dan justru dapat memperkuat diri.
Praktik serupa juga terjadi di bidang peternakan dan pertanian. Antibiotik digunakan untuk mempercepat pertumbuhan hewan ternak atau mencegah penyakit, yang secara tidak langsung bisa masuk ke rantai makanan manusia.
Menghindari resistensi antibiotik bukan semata tugas tenaga medis, tetapi tanggung jawab bersama. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
Bahaya resistensi antibiotik bukan hal yang bisa diabaikan. Jika kita tetap abai, bisa jadi infeksi sederhana seperti radang tenggorokan suatu saat menjadi ancaman mematikan karena tidak ada lagi antibiotik yang mampu mengatasinya.
Dengan kesadaran kolektif dan tindakan bijak, kita bisa mencegah ancaman ini semakin meluas. Waspadai gejala, konsultasikan ke dokter, dan bijaklah dalam menggunakan antibiotik demi masa depan kesehatan yang lebih aman.