Glow Storia – Somnifobia mungkin terdengar asing bagi banyak orang, tetapi kondisi ini nyata dan bisa sangat mengganggu kehidupan seseorang. Somnifobia adalah ketakutan ekstrem atau irasional terhadap tidur atau proses tertidur itu sendiri. Bagi penderita, tidur bukan lagi aktivitas alami untuk beristirahat, melainkan sesuatu yang menakutkan dan penuh kecemasan. Rasa takut ini bisa muncul ketika seseorang mulai bersiap tidur, atau bahkan hanya dengan memikirkan waktu tidur yang akan datang.
Di Inggris, diperkirakan sekitar empat persen populasi mengalami somnifobia, meskipun angka pastinya masih sulit diketahui karena banyak penderita yang tidak mencari pertolongan medis. Fobia ini termasuk dalam kategori gangguan kecemasan yang dapat menyebabkan tekanan emosional serius. Orang yang mengalami somnifobia sering kali berjuang untuk mengendalikan ketakutannya, dan rasa cemas yang muncul bisa berdampak langsung pada kualitas hidup, produktivitas, serta kesehatan mental mereka.
Somnifobia bisa muncul karena berbagai faktor, terutama yang berkaitan dengan pengalaman buruk saat tidur. Banyak kasus somnifobia terjadi pada individu yang memiliki riwayat gangguan tidur atau kondisi yang disebut parasomnia. Parasomnia mencakup berbagai jenis gangguan tidur seperti mimpi buruk yang berulang, kelumpuhan tidur, atau berjalan sambil tidur. Pengalaman-pengalaman tersebut dapat menimbulkan rasa takut berlebihan terhadap tidur karena otak mengasosiasikan tidur dengan pengalaman yang menakutkan atau tidak menyenangkan.
Selain itu, gangguan kesehatan mental seperti kecemasan umum, depresi, atau gangguan bipolar juga dapat memperparah risiko terjadinya somnifobia. Menurut penelitian dari Sleep Foundation, tidur memiliki hubungan yang erat dengan keseimbangan emosional dan psikologis seseorang. Saat seseorang mengalami gangguan tidur yang terus-menerus, kondisi emosionalnya bisa menurun drastis. Begitu pula sebaliknya, gangguan mental dapat memperburuk kualitas tidur dan memperkuat rasa takut untuk tertidur. Lingkaran ini dapat menjadi pola yang sulit diputuskan tanpa bantuan profesional.
Baca Juga : Wardah: Kosmetik Halal Indonesia yang Mendunia dan Inovatif
Untuk menegakkan diagnosis somnifobia, para profesional kesehatan mental biasanya menggunakan pedoman dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Panduan ini membantu para ahli mengenali karakteristik fobia spesifik berdasarkan gejala dan perilaku pasien.
Beberapa kriteria utama dalam diagnosis somnifobia meliputi adanya rasa takut atau kecemasan yang signifikan terhadap tidur, munculnya rasa takut yang konsisten setiap kali dihadapkan dengan situasi tidur, dan kecenderungan untuk menghindari tidur sebisa mungkin. Fobia ini juga harus berlangsung dalam jangka waktu cukup lama, biasanya lebih dari enam bulan, serta menimbulkan dampak nyata terhadap kehidupan sehari-hari seperti menurunnya konsentrasi, gangguan suasana hati, hingga kelelahan kronis. Selain itu, perasaan takut tersebut dianggap berlebihan dan tidak proporsional terhadap ancaman yang sebenarnya tidak berbahaya. Gejala somnifobia juga sulit dijelaskan secara medis, sehingga sering kali membingungkan baik bagi penderita maupun tenaga kesehatan yang menanganinya.
Meskipun menakutkan, somnifobia bukanlah kondisi yang tidak bisa diobati. Dengan pendekatan yang tepat dan dukungan profesional, penderita dapat kembali memiliki hubungan yang sehat dengan tidur. Dua metode terapi yang paling umum digunakan adalah terapi paparan dan terapi perilaku kognitif.
Pendekatan ini dilakukan dengan cara mempertemukan penderita secara bertahap dengan hal yang mereka takuti, dalam hal ini tidur atau situasi yang berkaitan dengannya. Tujuannya adalah untuk mengurangi respons kecemasan dengan memperkenalkan paparan yang aman dan terkendali. Proses ini bisa dilakukan melalui simulasi virtual atau pengalaman langsung di dunia nyata. Dalam konteks somnifobia, terapis akan membantu pasien mengenali pengalaman tidur yang memicu ketakutan, kemudian menghadapi situasi tersebut sedikit demi sedikit. Berdasarkan penelitian, sekitar 90 persen penderita fobia spesifik menunjukkan perbaikan signifikan setelah menjalani terapi paparan secara konsisten.
CBT menitikberatkan pada hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. Terapi ini membantu penderita mengenali pola pikir negatif atau irasional yang memicu rasa takut terhadap tidur. Melalui proses restrukturisasi kognitif, pasien belajar mengganti pikiran negatif tersebut dengan pemahaman yang lebih realistis dan adaptif. Dalam kasus somnifobia, terapis akan membantu pasien menantang keyakinan bahwa tidur adalah sesuatu yang berbahaya, sekaligus membangun kebiasaan tidur yang sehat dan tenang. CBT telah terbukti aman dan efektif untuk mengobati berbagai gangguan kecemasan, termasuk somnifobia.
Dengan penanganan yang tepat dan dukungan berkelanjutan dari tenaga profesional, penderita somnifobia memiliki peluang besar untuk pulih. Meskipun fobia ini masih jarang dibicarakan, kesadaran dan pemahaman yang lebih luas tentang kondisi ini dapat membantu masyarakat mengenali gejalanya lebih dini, sehingga langkah penanganan dapat segera dilakukan sebelum berdampak lebih jauh pada kesehatan mental dan fisik.
Simak Juga : Manfaat Susu Kedelai: Sehat Penuh Gizi untuk Semua Usia
